Adaserdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya

Puisi Cahaya Bulan Gie is Original Soundtrack from Indonesian Film titled "Gie". The album was released by the "Miles Films" on 2005 with the composition of songs produced by some musicians like Eross from Sheila On 7 who write Cahaya Bulan, and Gie vocal by okta. There are some legendary songs that are popular in the 60's in this album, such as Like A Rolling Stone original song by Bob Dylan, also Soe Hok Gie's favorite song, Donna donna original song by Joan Baez that sung by Sita RSD. Read Full BioGie is Original Soundtrack from Indonesian Film titled "Gie". The album was released by the "Miles Films" on 2005 with the composition of songs produced by some musicians like Eross from Sheila On 7 who write Cahaya Bulan, and Gie vocal by okta. There are some legendary songs that are popular in the 60's in this album, such as Like A Rolling Stone original song by Bob Dylan, also Soe Hok Gie's favorite song, Donna donna original song by Joan Baez that sung by Sita RSD. Also Indonesian legendary songs like Dimana Dia by Tetty Kadi, Terombang di Penantian by Titiek Puspa, and Badai Selatan by Agus Wisman. For information, "Gie" is a movie based on the true story of the young Indonesian student activist Soe Hok Gie 1942-1969. He was a vocal, idealistic, often angry voice criticizing the government of Soekarno in the 1960's. The movie follows the life of Gie from childhood, showing the influences that shaped his uncompromising character. His early days as a schoolboy already shows signs of an unyielding will, especially in the face of unjust authority. Gie kept a diary of his thoughts and opinions, which forms the backbone of this film. He was a voracious reader, and was especially attracted to the existentialist thinking of Albert Camus. He was also a prodigious and articulate writer, penning countless critiques of the government, both as a student and later as a lecturer at the prestigious University of Indonesia. His diary is full of musings on different aspects of life. He led student anti-government rallies. Yet at heart he is a patriot, ultimately concerned with the well being of Indonesia and its poorest citizens. His untimely death at 26 due to accidental poisoning by noxious fumes from the Semeru mountain in Java ended a life of prodigious output.
SoeHok Gie. Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa dan pemuda, meninggal dunia di puncak G. Semeru, bersama Idhan Dhanvantari Lubis. Sosok dan sikapnya sebagai pemikir, penulis, juga aktivis yang berani, coba ditampilkan Rudy Badil, yang mewakili rekan lainnya, Aristides (Tides) Katoppo, Wiwiek A. Wiyana, A. Rachman (Maman), Herman O. Lantang dan almarhum Freddy Lasut.
Cahaya bulan Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa. Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui. Apakah kau masih selembut dahulu? Memintaku minum susu dan tidur terlelap sambil membenarkan letak leher kemejaku. Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih Lembah Mandalawangi.. Kau dan aku tegak berdiri.. Melihat hutan-hutan yang menjadi suram. Meresapi belaian angin yang menjadi dingin. Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu.. Saat ku dekap,kau dekaplah lebih mesra.. Lebih dekat.. Apakah kau akan berkata,ku dengar detak jantungmu.. Kita begitu berbeda dalam semua.. Kecuali dalam cinta.. Cahaya bulan menusuk ku,dengan ribuan pertanyaan.. Yang tak kan pernah ku tahu. Dimana jawaban itu.. Bagai letusan berapi. Bangun ku dari mimpi.. Sudah waktunya berdiri. Mencari jawaban,kegelisahan hati. *soe hok gie Baca Juga Kumpulan Puisi Lain nya Klik Disini
PuisiCahaya Bulan — Ost Soe Hok Gie Diposting oleh aLaM_KaNesHirO , Rabu, Desember 16, 2009 at 22.48.00, in Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
Oct4 akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui apakah kau masih selembut dahulu memintaku minum susu dan tidur yang lelap sambil membenarkan letak leher kemejaku kabut tipispun turun pelan-pelan di lembah kasih lembah Mandalawangi kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram meresapi belaian angin yang menjadi dingin apakah kau masih membelaiku semesra dahulu ketika kudekap, kau dekaplah lebih mesra lebih dekat apakah kau masih akan berkata ku dengar detak jantungmu kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan yang takkan pernah ku tahu dimana jawaban itu bagai letusan berapi bangunkan ku dari mimpi sudah waktunya berdiri mencari jawaban kegelisahan hati

Puisiini adalah puisi yang dibacakan oleh Nicholas Saputra dilagu Cahaya Bulan Ost. Soe Hok Gie (catatan seorang demonstran). Sebuah Tanya Akhirnya semua akan tiba pada pada suatu hari yang biasa pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui. Apakah kau masih berbicara selembut dahulu memintaku minum susu dan tidur yang lelap?

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Soe Hok Gie, dalam perjalanan bangsa Indonesia tak banyak yang seperti Gie sapaannya. Terlahir dari keturunan etnis Tionghoa tetapi Gie merasa sebagai orang Indonesia asli dan memang dalam perjalananan kehidupannya Gie lebih nasionalis dan Indonesia banget’ dibandingkan parapribumi’.Ketika rezim pada saat itu mengharuskan semua yang ’keturunan’ untuk meng-Indonesiakan diri’ termasuk nama, Gie menolak hal tersebut, menurutnya dengan namanya tersebut Gie merasa tak ada yang berbeda dari dirinya dengan orang lain dan ia tetap menggunakan nama Soe Hok banyak aktivis kampus yang berjuang macam Gie. Acuh tetapi memperhatikan. Marah tetapi sayang di luar tapi ada di dalam. Seorang yang tenang tetapi mempunyai jiwa perlawanan dan pemberontakan. Keras tetapi begitu ini saya tidak ingin berpanjang lebar dengan biografi dan perjalanan pergerakan Gie yang lebih jauh, yang lebih dalam dengan seluk beluknya yang sulit untuk orang orang yang tak pernah berdiskusi dengannya di atas sebuah lembah lembah mandala terakhir yang disebut di atas menelisik keingintahuan saya dengan kalimat kaliamat Gie yang begitu rapih untuk dibaca’ yang mengalir seperti sebuah arus yang menuju muara, yang begitu lembut untuk dicerna nalar dan saya kali ini tertuju pada syair yang indah, sederhana tetapi mempunyai jiwa yang hidup dalam setiap kalimatnya, syair yang sempurna ketika Nicholas Saputra berhasil mensajakannya bersama latar lagu dan musik dari musisi Full kreatif; Erros seperti mempunyai hubungan yang intim tersendiri dengan Mandala Wangi di Pangrango, Gunung Gede. Gie seperti menjadikan kesendiriannya berteman alam Gunung Pangrango yang mungkin bagi sebagian orang-termasuk saya-berbahasa dan pendengar yang baik bagi yang “Cahaya Bulan” mungkin lahir ketika Gie benar benar larut dalam buaian sunyi yang secara diam diam menjamahnya dan mengajaknya bersenggama tentang banyak hal’. Memang menyenangkan ketika kita merasakan hal tersebut terjadi pada diri kita sendiri. Akan tetapi Gie seperti menelanjangi diri di alam Pangrango untuk mencurahakan seluruh keluh mungkin bau tubuh Gie yang mampir di Pangrango juga dikenal alam lain yang ia sempat kunjungi dan itu menjadikannya mudah untuk larut dan intim dengan alam. Hal ini tentu bukan untuk saya berkata jikalau seorang penyair adalah mereka yang rajin ke gunung atau alam bebas lainnya. Masalah sajak dan syair yang mampu dimengerti mungkin lebih kepada kemauan dan keuletan si penulisnya untuk membedah kata demi kata.Ada keinginan membelalak dan kecemburuan saya kepada kemampuan Gie menuliskan puisi “Cahaya Bulan”. Jika terus membacanya berulang ulang maka sebanyak keberulangan saya itulah saya mendapatkan kekecewaan dan penasaran yang membuat saya terkapar dan tak berdaya untuk bisa “meniru” gaya bahasanya yang sederhana dan lembut tersebut.“Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasaPada suatu ketika yang telah lama kita ketahui…”Bait pertama dan kedua dalam sajak “Cahaya Bulan” inilah kecemburuan saya akan keseluruhan sajak Gie yang satu ini. Dalam kalimat ini Gie seperti sedang berbicara tentang takdir dan hidupnya sendiri dengan lembut dan penuh artikulasi yang tajam tanpa ambuguitas dan bahasa yang hyperbol. Tentu ini hanya bisa ditulis oleh mereka yang mededikasikan hidupnya untuk kehdupan yang banyak.“Apakah kau masih selembut dahuluMemintaku minum susu dan tidur yang lelapSambil membenarkan letak leher kemejaku”Dalam bait di atas Gie seperti sedang berbicara kehidupannya di Kota sana di tengah tengah Mandala Wangi yang tugur mendegarkan seluruh curahan hatinya yang dalam dan tulus. Mungkin tentang sang ibu, ayah atau mungkin pula teman dan kekasih. Kaliamat yang begitu sederhana, tapi di sini saya melihat Gie bisa menangkap semua momen penting dalam keseluruhan hidupnya.“Kabut tipis pun turun pelan pelan di lembah kasihLembah mandala wangiKau dan aku tegak berdiri melihat hutan hutan yang menjadi suramMeresapi belaian angin yang menjadi dingin”Disinilah sanjungan Gie bagi Mandala wangi, tempat yang bisa mendengarkan semua keluh kesahnya, tempat ia lari dari semua yang tak alami dan kepura puraan, tempat ia bisa berpelukan dan menciumi alam yang begitu mengerti hidup, disinilah wihdah’ antara Gie dan Mandala Wangi mencarpai makrifat yang luhur ketika keduanya benar benar menyatu dalam satu tubuh.“Apakah kau masih membelaiku semesra dahuluKetika kudekap, kau dekaplah lebih mesra lebih dekatApakah kau masih akan berkata “Kudengar detak jantungmu”Kita begitu berbeda dalam semuaKecuali dalam cinta”. Dan kalimat kalimat di atas inilah yang membedakan kita dengan mereka yang hidup dalam kehidupan, mereka yang melihat semua yang tersembunyi, mereka merasakan apa yang tak tampak. Gie benar benar dari mereka yang mendapatkan karomah’tersebut . “kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta”, oh, hampir saja saya mati denga kalimat ini, dan ini lebih berat bagi saya untuk merangkai kalimat seperti ini daripada jika harus mencari jarum di hutan belantara sekalipun. Ketika kita diperlihatkan dengan kalimat yang artuikulaisnya luas tiba tiba Gie menyambungnya dengan ambivalen yang justru mempunyai arti yang dalam dan kuat sekali.Jika harus mempunyai kecintaan dan favorit dalam kalimat saya begitu suka dengan sajak “”cahaya bulan ” Gie ini, dengan mengecualikan penyair penyair seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Muhamad, WS. Rendra, atau pun puisi model Widji Tukhul yang syarat makna proletarian yang sebaliknya begitu menyentuh bagi banyak kesempatan saya ingin sekali bisa meaklukan kata kata, menemukan kalimat, menuliskan banyak cerita dan syair. Sesering itujuga saya mencari “keintiman” dengan banyak hal. Melihat di antara yang tersembunyi, merasakan apa yang taka pernah dirasa, mendengar apa yang alam juga yang tahu apa yang terjadi pada Soe Hok GIe di puncak Mahameru saat dunia mencoba mendiktenya dalam situasi karut marut rendah, dan semua kejujuran dan cintanya bersemayam diantara angin and kabut yang menyelimuti puncak tertinggi di tanahnya.“Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasaPada suatu ketika yang telah lama kita ketahui…”“Lebih baik baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan”.Saya ingin menjadikan kalimat saya sebagai jatidiri hidup saya tanpa perlu disembunyikan dan takut didikte manusia Lampung, 25 Juli 2013Syamsir Alam. 0122 Lihat Catatan Selengkapnya
CahayaBulan. -Eros So7 ft Okta Liriknya sedikit mengambil dari barisan puisi Soe Hok Gie yang berjudul 'Sebuah Tanya'. Sebab, lagu ini diciptakan untuk keperluan pembuatan film 'Soe Hok Gie', sebagai soundtrack film tersebut. Jadi tidak heran jika kamu menemukan sastra kritik khas Gie di dalamnya. 5. Pecinta Alam. Ceceu Herlina87 2y↑2Pertama x denger puisi & lagunya th 2006 apa yaak,, lupa,, saat kuliah di Jogjaa. Syahdu,, merinding,, keren,, sedih,, campur aduk.. PuisiCahaya Bulan, Ost. Soe Hok Gie Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui Apakah kau masih selembut dahulu Memintaku minum susu dan tidur yang lelap Sambil membenarkan letak leher kemejaku Kabut tipis pun turun pelan pelan di Lembah Kasih

MandalawangiPangrango (Puisi Soe Hok Gie) 12/14/2012 05:32:00 PM Febriansyah 0 Comments. Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu. Cahaya Bulan ; Soe Hok Gie. Web Kampus di DI Yogyakarta / Daerah Istimewa Yogyakarta. Mandalawangi Pangrango (Puisi Soe Hok Gie)

iqFSA.
  • xig1v4445k.pages.dev/388
  • xig1v4445k.pages.dev/6
  • xig1v4445k.pages.dev/216
  • xig1v4445k.pages.dev/315
  • xig1v4445k.pages.dev/83
  • xig1v4445k.pages.dev/282
  • xig1v4445k.pages.dev/339
  • xig1v4445k.pages.dev/363
  • xig1v4445k.pages.dev/268
  • puisi soe hok gie cahaya bulan